Kordinasi Antar kelembagaan sebuah Upaya Pemberantasan terorisme adalah judul kali ini. Postingan ini di tulis oleh seorang Bloger .Itempoeti.com.Pengungkapan pelaku kasus peledakan bom JW Marriot dan Ritz-Carlton di Mega Kuningan, Jakarta; nampaknya masih belum menunjukkan titik terang. Beberapa tersangka yang diduga menjadi pelaku ternyata tidak sesuai dengan hasil pengujian DNA terhadap mayat pelaku bom bunuh diri. Polisi nampaknya masih kesulitan dalam mengungkap secara pasti siapa sesungguhnya pelaku baik personil maupun jaringan yang bermain dibalik teror bom.
Peristiwa teror bom yang terjadi tersebut bukanlah yang pertama kali sejak terjadinya peledakan bom di kedutaan besar Philipina, Jakarta, 1 Agustus 2000, yang mengakibatkan korban 2 orang meninggal dan 21 luka-luka. Sejak itu tercatat sejumlah peledakan bom di tanah air yang berlangsung hingga saat ini. Namun nampaknya upaya pihak kepolisian dan intelijen selalu tertinggal satu langkah dari para pelaku teror.
Hal ini memunculkan berbagai spekulasi yang mengarah pada lemahnya sistem perundang-undangan yang membuat aparat penegak hukum tidak memiliki keberanian untuk melakukan tindakan-tindakan baik pencegahan terhadap berbagai upaya teror bom naupun upaya penangkapan terhadap tersangka pelaku teror bom. Berbagai komentar tentang perlunya diberlakukan kembali Undang-Undang Anti Subversi seperti di era Orde Baru begitu mewacana di media massa akhir-akhir ini.
Tentu dengan membandingkan situasi nasional ketika Undang-Undang Anti Subversi diberlakukan di masa Orde Baru yang bebas dari peledakan bom, keinginan untuk memberlakukan kembali Undang-Undang tersebut nampaknya seperti menjadi sebuah jawaban atas kerinduan akan masa lalu, masa tanpa ledakan bom. Keinginan ini memang banyak muncul dari kalangan TNI yang selama 32 tahun dengan Dwi Fungsi ABRI-nya menjadi pilar utama tegak berdirinya Orde Baru di bawah kepemimpinan Jenderal TNI Purn. Soeharto.
Namun bagi sebagian kalangan lain yang merasakan pedihnya kekejaman Orde Baru yang represif dan opresif, justru melihat bahwa pemberlakuan kembali Undang-Undang Anti Subversi adalah sebuah langkah mundur yang akan menjadi pintu masuk bagi kebangkitan kembali rezim Orde Baru yang despotis dan otoritarian. Pencideraan dan penistaan terhadap Hak Asasi Manusia dan demokrasi akan terulang kembali.
Apalagi dengan mengingat saat ini sudah diberlakukan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-Undang; yang sudah dianggap telah mencukupi sebagai landasan hukum bagi aparat penegak hukum untuk bisa memberantas tindak pidana terorisme.
Ironisnya, sejak UU No. 15 tahun 2003 ditetapkan pada 4 April 2003 -yang merupakan penetapan terhadap Perpu No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang sudah lebih dulu diberlakukan sejak 18 Oktober 2002 tepat enam hari setelah peristiwa bom Bali I-, jumlah kasus teror peledakan bom justru terus bertambah dari waktu ke waktu.
Apakah ini memang sebuah indikasi bahwa Undang-Undang No. 15 tentang Pemberantasan Terorisme memang tidak setangguh dan sehebat Undang-Undang Anti Subversi semasa Orde Baru dulu? Ataukah ini memang salah satu indikator adanya persaingan antar institusi pertahanan dan keamanan yang menyebabkan lemahnya koordinasi antar kelembagaan dalam penanganan kasus teror bom.
Di masa Orde Baru, Kepolisian RI masih bergabung menjadi satu kesatuan angkatan bersenjata beserta Angkatan Darat, Laut dan Udara di bawah langsung komando Panglima ABRI yang langsung bertanggung jawab pada Presiden sebagai Panglima Tertinggi (Pangti) ABRI. Namun setelah Soeharto turun dari singgasana kekuasaan, Polri tidak lagi tergabung bersama-sama dengan ketiga angkatan lain di bawah komando Panglima TNI.
Pemisahan fungsi dan peran kelembagaan pertahanan dan keamanan yang dulunya menjadi satu kesatuan menjadikan Polri sebagai sebuah lembaga penegakkan hukum yang berperan penuh secara langsung di bidang keamanan. Perubahan ini membawa angin segar di tubuh Polri untuk bisa segera keluar dari bawah bayang-bayang TNI yang saat ini “hanya” menjalankan fungsi dan peran pertahanan. Anggaran yang terpisah dari TNI, perbaikan sarana dan prasarana juga kewenangan teritorial yang lebih luas dibanding semasa Orde Baru membuat Polri bermetamorfosa dari yang tadinya anak tiri akhirnya tampil sebagai anak emas kekuasaan yang mengambil banyak “porsi” yang dulunya dikuasai oleh TNI khususnya Angkatan Darat.
Perubahan-perubahan ini tentu menimbulkan ketidakpuasan di kalangan TNI terutama Angkatan Darat yang selama ini mendapatkan previlese sebagai tulang punggung kekuasaan Orde Baru. Fungsi kekaryaan yang dulu menjadi berkah bagi TNI dalam menjalankan peran Dwi Fungsi ABRI, tak lagi bisa dinikmati saat ini. Posisi-posisi sentral dan vital di berbagai institusi pemerintahan dan kenegaraan yang dulunya dipegang oleh TNI kini dipegang oleh sipil atas nama HAM, demokrasi dan profesionalisme TNI.
Proses perubahan tersebut terjadi di tengah era keterbukaan informasi yang memungkinkan terjadinya kontrol publik secara langsung. Namun tentunya hal tersebut belum bisa dilakukan di semua institusi pemerintahan dan kenegaraan mengingat ketidaksiapan dan ketidakmampuan kalangan sipil dalam kecakapan dan keahlian bidang tertentu.
Bidang intelijen adalah salah satun yang masih memerlukan keterlibatan TNI baik secara institusional maupun secara personal. Dalam hal ini haruslah diakui bahwa kecakapan dan kemampuan intelijen sampai saat ini memang masih belum dimiliki oleh kalangan sipil.
Dalam konteks pengungkapan tidak kejahatan terorisme, tidak hanya sekedar kemampuan polisional yang diperlukan, namun juga kemampuan intelijen yang mumpuni juga sangat diperlukan untuk bisa melakukan upaya pencegahan terhadap adanya kemungkinan tindak kejahatan terorisme.
Kedua fungsi baik polisional maupun intelijen, walaupun bekerja dengan cara yang berbeda namun keduanya adalah variabel penting dari terselenggaranya sistem pertahanan dan keamanan yang terpadu. Intelijen dalam fungsinya selalu bekerja mendahului sebelum peristiwa yang dianggap mengancam pertahanan dan keamanan nasional terjadi dengan melakukan antisipasi dan pecegahan termasuk operasi kontra intelijen.
Intelijen bergerak berdasarkan berbagai bahan keterangan yang diperoleh dari hasil informasi yang digalang oleh agen-agennya yang tersebar di seluruh lapisan masyarakat. Berbagai bahan keterangan tersebut kemudian dikategorikan, dikompilasi dan diverifikasi menjadi data-data intielijen yang pada tahap selanjutnya dianalisa untuk kemudian menghasilkan rekomendasi-rekomendasi yang akan diserahkan kepada institusi-institusi terkait untuk ditindaklanjuti.
Sementara di sisi lain, kepolisian bergerak atas dasar barang bukti, saksi dan modus operandi yang diperoleh dari peristiwa kejahatan yang telah terjadi sebagai dasar untuk melakukan penyidikan dalam upaya pengungkapan motif dan siapa pelaku tindak kejahatan tersebut.
Di dalam Bab V Pasal 26 ayat 1 Perpu Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme junto UU Nomor 15 Tahun 2003, secara ekplisit menyatakan bahwa, “ Untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelijen.”; itu berarti keterlibatan fungsi intelijen dalam upaya pengungkapan tindak kejahatan terorisme adalah sebuah keniscayaan yang seharusnya terkoordinasi secara sistematis, terpadu dan berkesinambungan dengan aparat penegakan hukum dalam hal ini adalah kepolisian.
Namun lagi-lagi jika melihat masih terus terulangnya peristiwa peledakan bom sejak Perpu Nomor 1 Tahun 2002 hingga saat ini dimana tercatat 13 peristiwa peledakan bom termasuk yang terakhir di Mega Kuningan, maka muncul sebuah pertanyaan, “Apakah koordinasi antara fungsi intelijen dan polisional sudah dilakukan sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh Undang-Undang?”; tanpa harus menyatukan kembali Polri dengan TNI dibawah satu komando seperti di masa Orde Baru.
Kita hanya bisa berharap semoga saja ini bukan indikator adanya ketidakharmonisan atau lebih ekstrim lagi adalah persaingan antar institusi ‘yang tidak puas’ dengan institusi ‘anak emas’ sehingga mengenyampingkan kepentingan rakyat, bangsa dan negara yang seharusnya jauh lebih utama.
Semoga artikel yang berjudul Kordinasi Antar kelembagaan,Sebuah Upaya Pemberantasan Terorisme yang di tulis oleh itempoeti bermanfaat.
koordinasi memang perlu, yang utama adalah kerjasama antar lembaga.... bersatu... menumpas kezaliman...
BalasHapussalam superhangat